Perlunya program keselamatan kerja


Beberapa kasus terjadinya kecelakaan di tempat kerja sudah tidak menjadi rahasia umum lagi. Hal demikian bisa muncul karena adanya keterbatasan fasilitas keamanan kerja, juga karena kelemahan pemahaman faktor-faktor prinsip yang perlu diterapkan perusahaan. Filosofi keselamatan dan kesehatan kerja dalam memandang setiap karyawan memiliki hak atas perlindungan kehidupan kerja yang nyaman belum sepenuhnya dipahami baik oleh pihak manajemen maupun karyawan. Karena itu perlu ditanamkan jiwa bahwa keselamatan dan kesehatan kerja merupakan bentuk kebutuhan karyawan.
       Selain itu setiap upaya yang terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja hanya akan berhasil jika kedua pihak yaitu perusahaan dan karyawan melakukan kerjasama sinergis dan harmonis. Setiap pelaku harus bertekad dan berdisiplin memperkecil terjadinya kecelakaan kerja. Perusahaan perlu memiliki tujuan memerkecil kejadian kecelakaan kerja sampai nol. Manfaat bagi kepentingan karyawan berupa keselamatan dan kesehatan kerja yang maksimum dan begitu pula bagi perusahaan berupa keuntungan maksimum. Untuk itu maka perusahaan hendaknya:
·         mematuhi peraturan keselamatan dan kesehatan kerja yang dikeluarkan pemerintah secara taatasas,
·         membuat prosedur dan manual tentang bagaimana mengatasi keselamatan kerja,
·         memberikan pelatihan dan sosialisasi keselamatan kerja pada karyawan,
·         menyediakan fasilitas keselamatan kerja yang optimum,
·         bertanggung jawab atas keselamatan kerja para karyawan,
        Setiap perusahaan sewajarnya memiliki strategi memperkecil dan bahkan menghilangkan kejadian kecelakaan kerja di kalangan karyawan sesuai dengan kondisi perusahaan. Strategi pokok yang perlu diterapkan perusahaan meliputi :
a. Pihak manajemen perlu menetapkan bentuk perlindungan bagi karyawan dalam menghadapi kejadian kecelakaan kerja. Misalnya karena alasan finansial, kesadaran karyawan tentang keselamatan kerja dan tanggung jawab perusahaan dan karyawan maka perusahaan bisa jadi memiliki tingkat perlindungan yang minimum bahkan maksimum.
b. Pihak manajemen dapat menentukan apakah peraturan tentang keselamatan kerja bersifat formal ataukah informal. Secara formal dimaksudkan setiap aturan dinyatakan secara tertulis, dilaksanakan dan dikontrol sesuai dengan aturan. Sementara secara informal dinyatakan tidak tertulis atau konvensi dan dilakukan melalui pelatihan dan kesepakatan-kesepakatan.
        Pihak manajemen perlu proaktif dan reaktif dalam pengembangan prosedur dan rencana tentang keselamatan dan kesehatan kerja karyawan. Proaktif berarti pihak manajemen perlu memperbaiki terus menerus prosedur dan rencana sesuai kebutuhan perusahaan dan karyawan. Sementara arti reaktif, pihak manajemen perlu segera mengatasi masalah keselamatan dan kesehatan kerja setelah suatu kejadian timbul. Pihak manajemen dapat menggunakan tingkat derajad keselamatan dan kesehatan kerja yang rendah sebagai faktor promosi perusahaan ke khalayak luas. Artinya perusahaan dinilai sangat peduli dengan keselamatan dan kesehatan kerja.
Berbicara mengenai Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di lingkungan pekerjaan tentu sebuah hal yang penting. Diangap penting karena tentu kita sepakat bahwa semua hal atau pekerjaan dapat dilaksanakan dengan baik dan optimal jika kita sebagai subjek dari sebuah pekerjaan juga dalam kondisi fisik, psikis, dan lingkungan kerja yang baik dan sehat.
Akan tetapi, kenyataan yang ironis justru menjadi fenomena yang wajar bagi sebagian besar orang. Masyarakat (pekerja) baru menjadi panik dan sadar serta menjadikan K3 sebagai perbincangan aktual ketika sebuah peristiwa kecelakaan kerja telah terjadi. Dalam skala yang lebih kecil, kita sebagai individu baru menyadarinya ketika sudah mengalami kecelakaan atau tertimpa sakit (baik fisik maupun psikis) karena minimnya kepedulian terhadap pentingnya menjaga kesehatan. Fenomena yang seperti ini berlaku di banyak tempat dan waktu.
Disadari atau tidak, efektivitas dan produktivitas kerja karyawan di tempat kerja, selain dipengaruhi oleh kondisi lingkungan kerja, seringkali juga berkorelasi langsung atau tidak langsung dengan semua hal yang dibawanya dari rumah, yaitu gaya hidup (life style) yang dijalaninya: pola istirahat, makan, pemahaman dan pelaksanaan pekerjaan, pergaulan, dan lain-lain, sampai pada pola yang dijalaninya bersama keluarga dan lingkungan sekitar. Stressor fisik, psikis, maupun psikososial merupakan hal kompleks bagi seorang karyawan. Oleh karena itu, pemahaman dan penanganannya juga harus dilakukan secara proporsional, baik secara individu maupun kelembagaan.
Tentang Stressor Fisik, Psikis, dan Psikososial
Ainul Hamam dalam penelitiannya mengatakan bahwa satu hal yang seringkali luput dari perhatian pihak manajemen dalam program K3 adalah pengaruh faktor psikososial di lingkungan kerja, selain faktor fisik yang sudah menjadi titik perhatian selama ini. Akhir-akhir ini terdapat kecenderungan peningkatan perhatian terhadap perbedaan pengaruh stressor fisik, psikis, dan psikosial di lingkungan kerja.
Kebutuhan fisik yang terus-menerus meningkat akibat tingginya beban kerja dan kurangnya waktu yang tersedia menyebabkan karyawan mengalami kesulitan dalam menjaga kecepatan dan performansi kerjanya pada taraf optimal. Hal ini menimbulkan beban mental dan kebutuhan psikologis pekerjaan (www.digilib.itb.ac.id).
Seperti umumnya kompleksitas sebuah masalah, stressor yang terjadi pada diri seorang karyawan juga sama. Oleh karena terjadinya interaksi yang kompleks, maka antara stressor fisik, psikis, psikososial akan bersifat saling mempengaruhi (bersifat timbal balik).
Secara sederhana stressor dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang menjadikan beban atau tekanan bagi individu yang berasal dari sesuatu yang secara fisik tampak (lingkungan) maupun yang tidak tampak (secara psikis). Akibat sterssor fisik, misalnya sakit pusing-pusing, stroke, dan lain-lain. Stressor psikis menghasilkan hambatan secara kejiwaan sehingga seseorang menjadi bermasalah. Sedangkan, stressor psikososial adalah terhambatnya seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya, bisa karena minder, under estimed, tidak percaya diri (merasa harga dirinya rendah), tidak mampu berbicara atau membuat keputusan, dan sejenisnya.
Baik stressor fisik, psikis, maupun psikososial, selain oleh lingkungan kerja, juga terjadi karena terhambatnya kemampuan pribadi dalam menyelesaikan semua masalah yang terjadi pada dirinya, keluarga, maupun lingkungan sosial. Jika hal-hal seperti itu menimpa seorang karyawan, maka dia akan terhambat untuk bekerja secara efektif, produktif, dan optimal yang akan merugikan perusahaan. Apalagi, seringkali apa yang dialami seorang karyawan juga akan mengganggu (terpaksa atau tidak) karyawan lainnya dalam bekerja, salah satunya karena karyawan yang lain akan menggantikan tugasnya, akan membantu menyelesaikan masalahnya, dan lain-lain.

Bagaimanakah Konsep Membangun Kesadaran Pentingnya K3 ?
Sesuatu yang familiar biasanya menjadi sesuatu atau rutinitas yang biasa. Sesuatu yang penting pun akan terasa menjadi biasa. Oleh karena itu, mereview kembali kebiasaan-kebiasaan kita untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak didinginkan tentu sebuah tindakan bijaksana.
Berikut beberapa konsep sederhana sebagai pengingat buat kita.
1. Memelihara sanitasi lingkungan
Berawal dari lingkungan keluarga yang bersih dan sehat, maka ketenangan dan kenyamanan akan mengalir segar dalam pikiran kita. Kesegaran seperti itu akan memacu adrenaline untuk tetap semangat dalam bekerja. Jika keadaan sebaliknya yang terjadi di lingkungan kita, maka sebagian waktu dan pikiran kita akan tersita. Kenyamanan pun tidak bisa dirasakan. Perlu dicatat bahwa yang tampak bersih belum tentu sehat atau terbebas dari kuman, bakteri, atau bibit penyakit lainnya. Contohnya, lingkungan taman rumah yang asri dengan warna-warni dan pot bunga yang indah, ternyata tak jarang menyimpan jentik-jentik nyamuk. Sudah banyak kasus, anak-anak atau keluarga kita terkena demam berdarah, padahal lingkungan rumah kita tampak bersih.
2. Menyiapkan waktu yang cukup untuk beristirahat
Rutinitas kerja yang terjadwal tidak bisa ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu menyiapkan diri dengan istirahat yang cukup adalah hal mutlak. Memilah dan memilih aktivitas-aktivitas yang bersifat prioritas harus dilakukan. Sebagian besar karyawan sudah mampu melakukannya, tetapi sebagian masih belum dapat menentukan skala prioritas.
3. Menjadwal dan menyiapkan peralatan/kebutuhan kerja dengan baik
Persiapan secara maksimal akan berpengaruh positif untuk ketenangan kerja. Tentu kita pernah mengalami, ketika limit waktu sudah sampai, sedangkan ada sesuatu yang belum disiapkan, pasti kita akan menjadi panic dan gugup. Stressor psikis (ringan) pun terjadi.
4. Mengerjakan tugas sesuai dengan waktu dan prosedur (menganalisis dan mencari solusi jika terjadi hambatan)
Seringkali harus ada tugas yang harus kita bawa pulang, jangan tunda untuk dikerjakan karena ketika menumpuk maka kita menjadi stress. Begitu juga dengan tugas di kantor, jangan biasakan menunda meskipun masih ada kelonggaran waktu.
5. Tepat waktu
Tepat waktu dalam bekerja maupun menyelesaikan pekerjaan harus dibudayakan. Bayangkan, ketika terburu-buru, maka seseorang cenderung mengejar ketertinggalannya dengan melakukan segala sesuatu secara terburu-buru atau mengebut di jalanan. Akibatnya, dia celaka sebelum bekerja. Atau andaipun sampai di tempat kerja, stress psikosoial pun terjadi. Kita merasa malu dengan karyawan yang lain. Belum lagi kalu mendapat teguran dari atasan. Akhirnya, kita bekerja dalam kondisi tegang dan tidak nyaman.
6. Meminimalkan munculnya konflik, baik di rumah maupun di tempat kerja
Konflik adalah hal alamiah yang terjadi pada setiap orang. Yang membedakan adalah kemampuan mengatasi konflik. Oleh karena itu, meminimalkan masalah harus menjadi komitmen. Seringkali kasus rumah tangga menjadi penghambat terlaksananya sebuah pekerjaan.
7. Memeriksa kesehatan secara berkala
Jangan tak acuh terhadap kesehatan kita. Yang kita rasa biasa-biasa saja, belum
tentu keadaan yang sama juga ada dalam tubuh kita jika diperiksa secara teliti.
Jangan-jangan terdapat bibit penyakit yang bersarang di tubuh kita.
8. Menjaga kebersihan, kesehatan, dan keamanan lingkungan kerja
9. Selalu meningkatkan komitmen/kepedulian K3 tidak hanya secara pribadi, tetapi juga kepada komunitas kerja, bahkan kepada skala yang lebih luas, yaitu masyarakat sekitar.
10. Jika Anda menjadi bagian dari pimpinan puncak (top management), berikanlah panutan dan komitmen positif kepada bawahan.
Jika konsep-konsep sederhana tersebut dilakukan oleh setiap karyawan maka, maka praktik K3 yang ideal akan dapat diwujudkan karena konsep tersebut akan bersinergi dengan konsep-konsep besar yang selama ini telah menjadi program atau komitmen perusahaan.
Bekerja merupakan salah satu kegiatan utama bagi setiap orang atau masyarakat untuk mempertahanakan hidup dan kehidupannya. Agar dapat bekerja dengan baik, setiap orang memerlukan dukungan kemampuan kerja, seperti tenaga yang diperoleh dari gizi yang baik, dan kondisi lingkungan kerja. Pada hakekatnya, agar seseorang atau sekelompok pekerja dapat bekerja secara sehat diperlukan upaya untuk menyerasikan ketiga kemampuan utama, yaitu kapasitas kerja, beban kerja, dan lingkungan kerja. WHO menentapkan bahwa tatanan yang universal untuk pembudayaan hidup sehat adalah keluarga, institusi pendidikan, dan tempat kerja.

No comments:

Post a Comment

No Verification code, link aktif dan spam akan saya hapus.